Advertisement
Gudnyus.id - Hari ini beberapa grup whatsaap yang saya ikuti, terbombardir dengan gambar, video dan percakapan-percakapan tentang kerusuhan yang tengah terjadi di Provinsi Papua Barat, tepatnya di kota Jayapura. Dalam semua informasi yang masuk tentang Papua Barat hari ini, saya mendapati bahwa kerusuhan tersebut telah menjatuhkan korban jiwa, luka-luka, penjarahan, dan pembakaran gedung-gedung khususnya beberapa gedung perkantoran milik pemerintah, seperti DPRD, Bea Cukai, dll. Dari semua informasi yang masuk itu, saya menyimpulkan bahwa saat ini suasana disana sangat tidak kondusif, tidak aman, khususnya bagi warga sipil, dan juga pendatang.
Jika sekilas kita baca sebab musabab dari kerusuhan yang tengah terjadi di Papua Barat hari ini, tentu diakibatkan oleh peristiwa pengerebekan asrama mahasiswa Papua di kota Surabaya, yang terjadi pada 16 Agustus lalu. Disinyalir ada unsur Rasisme dalam peristiwa tersebut, sehingga menyulut kemarahan segenap masyarakat di Papua Barat. Bahkan kepolisian juga telah menetapkan tersangka terkait pengerebekan berunsur rasisme ini.
Namun jika kita mau mencoba membacanya dengan lebih dalam terkait kerusuhan ini, tidakkah terbersit rasa curiga dalam benak kita, benarkah hanya faktor Rasisme? Benarkah hanya karena umpatan monyet yang ditujukan untuk orang Papua? Sehingga menyebabkan kerusuhan demikian dahsyat seperti yang tengah terjadi saat ini, bahkan telah menyebabkan hilangnya nyawa manusia. Setipis itukah telinga orang Papua? Dan sebodoh itukah mereka sehingga hanya karena umpatan berujung pada kerusuhan? Rasa-rasanya tidak.
Sebab saya juga punya beberapa teman asli Papua. Terlebih lagi, umpatan-umpatan seperti (maaf) monyet, anjing, babi, jancuk, matamu, dll, sudah bukan sesuatu yang asing di bangsa ini. Kita sering menemukannya ditengah-tengah interaksi antar masyarakat kita. Dan itu bukan sesuatu yang asing, juga tidak terlalu tabu. Menimbulkan konflik antar personal, mungkin terjadi, tapi menimbulkan konflik hingga berujung kekisruhan kota bahkan jauh kepada tuntutan referendum, rasanya terlalu jauh.
Saya menduga, bahkan sangat kuat dugaan, ada kepentingan asing yang tengah bermain dalam persoalan Papua Barat ini. Melambungkan isu Rasisme untuk menyusupkan agenda separatisme. Tujuan utamanya tak lain adalah memisahkan Papua dari NKRI. Demi penguasaan sumber daya alam, dan semua potensi yang dapat menghasilkan pundi-pundi kekayaan bagi satu atau dua negara diluar sana, yang ujungnya adalah kapitalisme. Memperdaya kelompok-kelompok masyarakat Papua, dengan isu rasisme dan juga keadilan.
Pada soal rasisme, kini mereka telah berhasil melambungkannya. Kampanye aku Papua aku bukan monyet, adalah salah satu bentuk gerakan melambungkan isu rasisme di kalangan masyarakat Papua. Tak lain tujuannya adalah membangun sentimen masyarakat Papua terhadap masyarakat di pulau Jawa, khususnya jakarta. Dari kampanye ini, terbangunlah streotype bahwa orang pulau Jawa membenci orang Papua, atau setengah-setengah dalam bersatu bangsa dengan orang Papua. Padahal karakter masyarakat pulau Jawa sangat suka bersatu padu kepada seluruh warga bangsa.
Setelah isu rasisme menuai banyak perhatian rakyat Papua, agenda berikutnya dari separatisme desain asing ini adalah melambungkan soal ketidakadilan, baik dari sisi pembangunan, kesejahteraan maupun pendidikan. Kampanye tentang ketidakadilan ini lagi-lagi ditujukan kepada masyarakat di pulau Jawa. Mereka kampanyekan bahwa pulau Jawa jauh lebih sejahtera dan jauh lebih maju.
Padahal jika mau mempelajari secara lebih dalam, sebenarnya kehidupan masyarakat pulau Jawa juga tidak terlalu lebih baik dari masyarakat Papua dan juga masyarakat di daerah lain. Kemiskinan dan kebodohan juga banyak mendera masyarakat di pulau Jawa. Pekerja buruh kasar dengan upah kecil, pedagang asongan berpendapatan sangat kecil, dan juga orang-orang yang terpaksa pergi jauh meninggalkan keluarga menjadi TKI, bukan sesuatu yang asing di pulau Jawa.
Perhatian NKRI terhadap Papua sebenarnya sangat besar, khususnya pada beberapa tahun terakhir. Dana otsus untuk Papua mencapai 100 T setiap tahun. Ini besar sekali, jauh melampaui jumlah dana yang digelontorkan untuk daerah-daerah lain di Indonesia.
Tapi kemudian muncul keanehan buat kita, mengapa dengan dana sebesar itu masih muncul protes ketidakadilan dari masyarakat Papua? Apakah dana otsus itu tidak mengalir sebagaimana mestinya? Tidak sepenuhnya digunakan untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua? Jika kenyataannya dana otsus itu digunakan secara menyimpang, maka muncul pertanyaan, siapa yang makan? Tidakkah ini perlu diinvestigasi, baik pada level pejabat pusat, hingga pejabat-pejabat di daerah Papua.
Karena ini bearti sumber masalahnya. Dan seharusnya ini pula yang menjadi konsen bagi masyarakat Papua Barat khususnya. Bukan dengan membuat tuntutan untuk lepas dari NKRI. Karena jika tuntutannya adalah lepas dari NKRI, maka ini sangat menganggu kesepakatan kita sebagai NKRI.
Adalah benar jika tuntutannya adalah mendesak pemerintah pusat benar-benar serius memperhatikan Papua. Serius dalam memperbaiki semua kualitas pendidikan, serius membangun infrastruktur, serius meningkatkan kasejahteraan Papua, dan yang paling penting adalah serius dalam pengawalan penyaluran dana otsus. Bukan dengan membuat tuntutan lepas dari NKRI, mengibarkan bintang kejora, melakukan tindak anarkisme hingga menyebabkan hilangnya nyawa, dan mengusir warga pendatang dari daerah lain khususnya Jawa.
Karena ini jelas tindakan separatisme, sangat layak untuk dikatakan bahwa gerakan ini ditunggangi oleh kepentingan asing. Mungkin banyak rakyat Papua tidak sadar bahwa mereka diperdaya kepentingan asing, tapi melihat realitas yang terjadi hari ini, terlihat jelas bahwa asing ikut campur tangan dalam soal Papua. Usulan dari Forum Kepulauan Pasifik agar Dewan HAM PBB segera bentuk tim untuk datang ke Papua, serta banyaknya media internasional yang memberitakan tentang kerusuhan Papua khususnya pada soal pelanggaran HAM, adalah bentuk nyata bahwa asing ikut bermain dalam konflik Papua hari ini. Jadi ini bukan hanya soal rasisme dan ketidakadilan, tapi lebih kepada desain asing untuk memisahkan Papua dari NKRI.
Maka seharusnya, dengan semua fakta kerusuhan di Papua barat tersebut, yang sudah sangat anarkis karena menimbulkan korban jiwa, pembakaran, dan penjarahan, dan menyebabkan terus berjatuhannya korban dan kerugian dari warga sipil serta para aparat seperti TNI dan kepolisian, pemerintah pusat yang dalam hal ini di pimpin oleh bapak Joko Widodo, harus segera mengambil tindakan tegas.
Berlakukan darurat militer dan segera pegang kendali untuk penertiban. Sebelum kerusuhan semakin meluas dan jumlah korban semakin bertambah, dan sebelum infiltrasi asing semakin menguat. Karena sudah terlihat secara jelas, tindakan kriminal nyata-nyata terjadi di Papua Barat. Dan juga tindakan meremehkan NKRI juga nyata terjadi di pusat pemerintahan kita, berkibarnya bintang Kejora tepat di depan istana.
Setelah penerbitan dilakukan, barulah kemudian kembali kepada soal pembelaan terhadap keadilan, kesejahteraan, pendidikan dan pembangunan. Tangkap semua yang terlibat dalam penyelewengan dana otsus, siapapun dia. Baik yang di pusat maupun yang didaerah.
Dalam situasi seperti yang tengah terjadi sekarang, upaya-upaya dialog justru akan semakin memperkuat infiltrasi asing terhadap Papua. Dan membuat kita akan semakin kesulitan dalam menertibkan Papua. Jika sudah demikian, maka bersiap-siaplah kita akan kehilangan Papua. Ketegasan presiden sangat menentukan masa depan dari seluruh rakyat yang ada di Papua.
Penulis: Setiyono