Advertisement
Gudnyus.id - Kita masih berkomunikasi seperti biasanya malam itu. Mulai pembicaraan itu mengarah pada rasa cemburu yang sempat aku tunjukkan padamu beberapa hari sebelumnya, lalu kau menjelaskan panjang lebar hingga akhirnya aku paham kenapa bisa seperti itu.
Cerita ini awalnya
bermula dari postingan miliknya yang menampilkan suatu kemesraan pada lelaki
lain. Lantas saja aku merasa berang, namun aku tak mampu berkata apa apa. Wajar
menurutku cemburu itu muncul lantaran aku juga memiliki perasaan padamu tapi
aku pun ingat kau pernah bilang kita hanya sebatas jalani saja. Anehnya kau
juga mengakatan kau memiliki perasaan yang sama untukku. Aku bingung dengan
konsep ini
Hari ini kau begitu
menjadi orang dirindukan, besok kau sudah berubah menjadi orang yang paling ingin ku lupakan. Terus seperti itu, terulang lagi lagi dan lagi.
Memang benar sejak awal kau tak ingin terikat dalam sebuah hubungan, tak ingin berkomitmen, tak ingin berada jalur. Itu sebabnya dengan mudahnya kau memberikan izin padaku untuk mendekati siapapun dan didekati oleh siapapun agar kau pun melakukan hal yang sama, dekat dengan siapapun tidak perlu takut, karena kau sudah paham status kita hanya “jalani aja dulu”.
Memang benar sejak awal kau tak ingin terikat dalam sebuah hubungan, tak ingin berkomitmen, tak ingin berada jalur. Itu sebabnya dengan mudahnya kau memberikan izin padaku untuk mendekati siapapun dan didekati oleh siapapun agar kau pun melakukan hal yang sama, dekat dengan siapapun tidak perlu takut, karena kau sudah paham status kita hanya “jalani aja dulu”.
Sadar kah kau, dengan
konsep yang kau bawa itu justru menghukum orang yang telah diungkap bahwa kau
sayang padanya? Mungkin bagimu ini tidak menyakiti karena kau berpikir tak
saling mengekang. Lalu bagaimana dengan aku? Aku bicara soal komitmen, bukan soal menjalani
hubungan yang biasanya orang sebut pacaran. Kita tak lagi ada di masa itu!
Ini lanjutan dari cerita
yang pernah ku sampaikan padamu, soal siklus perasaan yang hanya berakhir pada
jalani saja tanpa arah dan tujuan. Aku sadar tentang kenaifanku, kau pasti
berpikir tentang bisa apa aku, punya apa aku, dan apa yang bisa ku tunjukkan
untukmu. Aku yakin semua pertanyaan itu akan muncul di kepalamu yang keras itu.
Air mata! Aku pernah
menjatuhkannya untukmu. Yah... aku paham, air mata tak merubah apa apa, tak
mampu membeli apa apa, pada akhirnya kau hanya mengkalkulasi jumlahnya dengan
milikmu yang jelas lebih banyak dikeluarkan. Terkadang pernah terbesit dibenak
ku kenapa kita ada dalam kedekatan ini, kenapa perasaan ini justru muncul dan
semakin dalam semenjak malam perjumpaan kita yang tak terkonsep itu.
Jika bisa dibilang, kau
jauh sudah di atas ku. Kau bisa melakukan apapun jauh lebih baik dariku,
berpuisi, menyanyi, berbahasa asing, kau bisa melakukan itu semua dengan mudah.
Wajar bila ku pikir tak sepantasnya kau bersama lelaki sehina ku. Bukan aku
merendah, bukan aku tidak bersyukur, aku menikmati setiap kekurangan yang ada
dalam diri ini, tapi dengan begitu justru kau dengan lantang menunjukkan idealisme
dirimu.
Mungkin sudah menjadi karaktermu
untuk membiarkan semua orang bisa masuk tanpa menetap. Hingga secara tidak
sadar ada hati yang sedang kau hukum demi menjaga perasaanmu. Kau tidak sadar
akan hal tersirat itu.
“Memang begitu semesta bercanda
Ada hati yang rela menyingkirkan
hati hati yang lain
Demi mempertahankan satu
hati
Namun hati ini justru
dikecewakan oleh hati yang dipertahankan
Bertahan untuk
dipermainkan
Sepertinya menjadi hobi
favorit saat ini
Mengizinkan hanya kedok
kamuflase
Agar kebohongan di
belakang tertutupi
Menawarkan konsep menjalani
Mengeluarkan fatwa menyayangi
diri
Lantas tak merubah hubungan
punya tujuan
Layangan tak terbang
kalau tidak ditarik ulur
Begitupun perasaan, tak terbuai
Ujungnya akan terbuang lantaran
bertahan
Soal menjaga hati
untukmu, aku pemenangnya”
Kini kisah ini tak lagi istimewa bila diceritakan, yang seharusnya menjadi momen tiap kali kita berkomunikasi di sela kesibukkan. Aktivitas yang kita lakukan hanya sebagai cara untuk saling melupakan.