Advertisement
Gudnyus.id - “Mencintai diri sendiri” begitu mungkin di dalam hatinya bergejolak. Bagi orang yang tak memamahi akan memunculkan kesan egois, namun itulah yang harus ia lakukan. Malam itu sepertinya terakhir kali berdebat tanpa penyelesaian.
Tidak akan ada lagi ocehan yang muncul untuk ke depannya, melindungi diri dan pergi tanpa bersalah “ah sudahlah, hatiku menyuruhku untuk berhenti.”
Seiring bertambahnya usia, diri ini akan semakin baik memanajemen diri, namun terkadang karena hal itu pula banyak hati yang tersingkir dengan rasa kalah dan dipermalukan seolah-olah ia berhasil menemukan titik lemah diri yang berguna untuk menyerang balik.
Idealisme diri, mungkin itu lebih tepatnya. “Aku ya aku, suka ya syukur, kalau tidak ya sudah tinggalkan”. Tidak ada yang salah dengan kalimat, itu adalah bentuk menunjuk diri yang apa adanya. Namun disisi lain, itu bisa menjadi untuk alat mengusir seseorang untuk pergi, dikala kenyamanan yang didapat sudah mulai memudar dan bahkan hilang.
Kita sudah saling bercerita, kita bahkan sudah merencanakan cerita baru. Tapi kenapa tiba-tiba cerita baru ini sepertinya tidak bertemu konklusi. Terkadang, aku sendiri bingung dengan konsep ini. Aku sama sekali tidak melihat visi.
Di luar ekspetasi, BOLEH JADI! Kenyamanan yang sudah didapat kali ini tak seindah sebelumnya. Perjuangan lisan yang keluar dianggap omong kosong. Seolah-olah sudah paham akan terjebak nostalgia yang berakhir menyakitkan. Apa kau menyamaratakan aku dengan itu?
Aku tidak mengerti, bahkan untuk membela diri dan meayakinkan aku tidak tahu. Selalu akan ada pengalihan dirimu yang semakin membuat aku terjebak, padahal dulu aku selalu dituduh sebagai “ahli menyudutkan”
Perasaan yang diduga tidak akan salah sepertinya kembali menjadi harapan yang belum bertemu pada buktinya. Kembali ia memasuki fase harus menutup hatinya untuk siapapun, “semuanya sama saja, hanya datang dan pergi sesekuka hati. Meninggalkan luka yang belum juga sembuh”.
Ada kalanya memang situasi seperti terjadi dikala orang yang telah dipercaya tidak sesuai harapan. Namun apakah orang yang diharap juga bersalah? Apakah ini benar-benar murni kesalahannya? Begitu yang selalu muncul dikala malam beriringan saat terbaring, saat meletakkan tangan di atas kepala sesaat sebelum terlelap. Saat sudah menutup mata, mungkin terlupakan, namun sementara, saat terbuka lagi, pertanyaan itu mungkin terbesit lagi, lagi dan lagi.
Saatnya online, bisa jadi itu momen yang ditunggu-tunggu. “statusnya online, apa ini saatnya aku bertanya? Tapi apa itu tidak akan kembali mengusiknya? Ah, lebih baik ku tahan saja. Bisa jadi mungkin kami sudah tidak akan bisa berbicara lagi”.
Berangkatlah dia melakukan aktivitasnya, menyelesaikan Tugas Akhir, menulis puisi bodoh, berbuat hal konyol dan mendengarkan sumpah serapah omong kosong yang tak bekesudahan.
Sepertinya kau sudah mendapatkan kebahagian di luar itu, dengan pergi menjauh! Mungkin memang benar konsepmu. Memerdekakan diri dengan cara itu efektif. Efekif untuk mempermalukanku dan terjebak rasa bersalah.
“Posisiku saat ini mungkin tak sebaik sebelumnya. Aku juga di luar ekspetasi yang terus menerus menyampaikan omong kosong tanpa pembuktian. Aku tak sedikitpun menyesal telah mengeluarkan air mata untukmu. Itu mungkin menjadi satu-satunya bukti ketulusan yang aku punya. Kau mungkin tak melihatnya secara langsung.”
Bagaimana momen ini bisa terjadi disaat aku hanya ingin memantapkan langkahku? Apa setiap pertanyaanku mengandung unsur kesalahan? Mengapa posisiku saat ini selalu selalu tersudut layaknya sebuah bertarung di atas octagon dengan dalih dirimu membela diri.
Aku tidak menyangka posisiku akan sehina ini dikala aku bukan orang yang kau harapkan. Apa ini kebiasaan mu sejak dulu? Memancing, merasa berjuang sendiri, dan disaat aku mulai memulai langkahku justru kau merendahkan ku?
Kalau hanya membela diri, aku pun bisa. Tapi aku tidak suka menjadikan orang lain kambing hitam lantaran rasa sakit yang aku terima sebelumnya tidak kunjung sembuh lalu menyamaratakan. Kau mungkin tidak paham dengan konsep yang telah kau buat sendiri.
Tetap saja akulah yang disebut dalam tulisanmu itu, sebaik apapun kau menyamarkan diksi itu, sasaran peluru yang kau bungkus melalui diksi itu aku. Coba jelaskan konsep itu padaku? Kau hanya ingin menjauh dari ku itu saja!
Keadaan hati mu baik-baik saja! Pergi dengan rasa bersalah adalah keahlianmu, bukan keahlianku. Meminta maaf padamu justru ajang untuk menginjak-injak diriku. Biarlah cerita ini menjadi gantung bahkan untuk pembaca sekalipun.
Tidak ada kata “egois” disini. Semuanya sudah dibungkus rapi dalam wadah “mencintai diri sendiri”, menjadikan kedekatan yang dimulai sendiri sebagai kambing hitam, hanya karena tidak siap menerima resiko, pergi meninggalkan tanpa beban.