Advertisement
Tenang saja...
Aku tidak akan menggunakan majas apapun untuk menutupi
ungkapan ini. Aku sudah tahu kau bukan orang yang mudah nyambung. Mungkin
“Ih... Kamu ni lola banget sih!?” sudah bagaikan makan siang bagimu. Tapi
bagaimanapun, bisa jadi itu menjadi sebab sederhanaku.
Aku pernah menulis puisi tentang seorang nahkoda yang terusir menjadi penumpang buangan. Kali ini aku tidak memberitahumu, hanya sekedar mempostingnya di status whatsapp. Biasanya ada saatnya aku memintamu untuk menuliskan makna puisi yang ku buat, tapi kali tidak. Takutnya kau malah bosan.
Memang tidak nyambung, kau bukan orang yang terlalu suka dengan
kegiatan menulis, tapi justru ku minta untuk memaknai. Wajar saja kau pusing
sendiri. Terkadang aku merasa seperti mengerjaimu, atau bahasa kekiniannya prank.
Tapi entah bagaimana ku bisa memintai orang untuk menuliskan makna puisiku, dan
orang yang itu tidak terlalu suka menulis. Ini pertama kalinya.
Aku ingin bercerita tentang film Tenggelamnya Kapal Van Dier
Wicjk, tapi sepertinya terlalu lama. Ini belum masuk ke cerita inti yang ingin
ku sampaikan padamu. Memang sepertinya bakal membosankan kenapa akhir-akhir ini
harus membahas soal perasaan yang sejujurnya ini adalah hal klasik dan itu itu
saja pembahasannya. Bagaimana kalau aku sedikit menggeser sedikit temanya?
Tentang perkenalan mungkin? Atau cerita dini hari ? Ah.. sudahlah . Tidak perlu
dibahas lagi
Tadi ku singgung soal film Tenggelamnya Kapan Van Dier Wicjk
kan? Ya tidak mungkin aku harus menceritakan ulang. Tapi ada poin yang ingin ku
beritahu sedikit. Tentang “Teroesir” dan “Karya”. Kalau kamu pernah menontonnnya,
pasti tahu hubungan keduanya.
Zaenuddin menulis kisah cintanya dalam sebuah buku sesaat setelah “terusir”. Tulisannya begitu digemari banyak orang, termasuk oleh orang yang dulu pernah ia cintai. Ia sukses dari tulisannya. Padahal ia mengalami keterpurukan yang begitu dalam.
Ia bagai pengemis cinta untuk sebuah cinta yang terhalang tahta, kedudukan dan keturunan. Lambat laun, ia (Zaenuddin) harus memanjat dari tebing curam untuk memperbaiki hari-harinya. Menulislah cara ia menemukan sebuah cahaya, bangkit dari kegelapan, menemukan harapan dan kesuksesan.
Zaenuddin menulis kisah cintanya dalam sebuah buku sesaat setelah “terusir”. Tulisannya begitu digemari banyak orang, termasuk oleh orang yang dulu pernah ia cintai. Ia sukses dari tulisannya. Padahal ia mengalami keterpurukan yang begitu dalam.
Ia bagai pengemis cinta untuk sebuah cinta yang terhalang tahta, kedudukan dan keturunan. Lambat laun, ia (Zaenuddin) harus memanjat dari tebing curam untuk memperbaiki hari-harinya. Menulislah cara ia menemukan sebuah cahaya, bangkit dari kegelapan, menemukan harapan dan kesuksesan.
Menghasilkan karya disaat terpuruk bukanlah hal yang mudah.
Semua akan terasa sia-sia, tak ada gunanya. Tapi sadar terlalu menikmati
kepahitan akan membuat hidup di seperti tanah penyiksaan. Bagitu pula yang
rasakan Zaenuddin, bangkit lah ia dari kesakitan yang ia rasakan.
Aku yakin sebagian dari kita pernah “terusir” dari orang dia
yang dulunya kita cintai. Memang tidak sekompleks yang di alami Zaenuddin, tapi
tersingkir dari sebuah penantian dan harapan, bukan lah sebuah kejadian yang biasa-biasa saja. Ketika
itu juga akan merasakan kerapuhan hati yang selama ini bertahan.
Setelah ku menceritakan sedikit tentang film barusan, kau
pun bertanya “Pernah ngalamin?” Yah lantas saja ku jawab pernah, tapi tidak
sepahit yang dialami Zaenuddin. Hanya terusir dari singgahan hati yang tak
mampu bertahan, tak mampu menjaga hati, tak mampu menghargai. Dan akhirnya
harus dibuang dari perahu yang ditumpangi. Kini perahu itu penuh dengan
penumpang sementara. Padahal ia seharusnya jadi nahkoda saat itu. Itulah
“Teroesir” yang ku alami.
Kau menguatkan setelah itu...
Kau bilang, bahwa Tuhan memberikan porsi cobaan sesuai
kekuatan hamba-Nya. Aku pernah baca itu di postingan mu. Setidaknya saat ini
aku sudah tidak lagi di momen terusir itu lagi. Semua ternyata kembali
baik-baik saja.
Intensitas obrolan di saat dini hari....
Semakin larut di gelap ini, ternyata membuat kita semakin
terlarut dalam obrolan. Cerita di malam hari yang ku sampaikan, dimana malaikat sedang mencatat doa-doa dari hamba-Nya yang sedang bermesraan dengan Pencipta Alam
Semesta. Aku mulai merasa nyaman untuk
mengungkapkan padamu. Tentang diri ini yang begitu lemah, aku ceritakan padamu.
Rasa sakit medis, yang sekian lama singgah di paru-paru ini, hingga merasa tidak cara lain untuk bertahan hidup selain menenggak obat di setiap harinya. Sakit tentu, rapuh pasti, menutupi sudah ku lakukan. Maafkan aku yang menjadikanmu tempat keluh ku, mengganggu waktu tidurmu, membuang malam mu dengan kejujuran ini.
Rasa sakit medis, yang sekian lama singgah di paru-paru ini, hingga merasa tidak cara lain untuk bertahan hidup selain menenggak obat di setiap harinya. Sakit tentu, rapuh pasti, menutupi sudah ku lakukan. Maafkan aku yang menjadikanmu tempat keluh ku, mengganggu waktu tidurmu, membuang malam mu dengan kejujuran ini.
Respon manis...
Itulah yang selalu kau berikan, kau tidak segan untuk
menyimak ceritaku. Sembari memberikan nasihat kecil yang justru membuat
tersirat senyum di bibir ini. Kau memarahi ku dengan cara yang lucu.
Membuat aku ingin menikmatinya tidak hanya malam itu saja. Tapi hari-hari ke depannya juga. Mungkin benar, semakin laun kau menemukan jenuh dengan semua cerita ku. Ingatkan itu disaat aku melakukanya.
Membuat aku ingin menikmatinya tidak hanya malam itu saja. Tapi hari-hari ke depannya juga. Mungkin benar, semakin laun kau menemukan jenuh dengan semua cerita ku. Ingatkan itu disaat aku melakukanya.
Aku menyukaimu, (Mungkin besok ku akan merindukannmu)
Buatlah alasan sederhana untuk menyukai sesuatu. Sepertinya
aku sudah menemukan alasan sederhana itu. Mungkin bisa jadi kau akan merasa
risih membaca ini, itu sebabnya aku tak akan bicara langsung kepadamu. Kau tahu
aku lemah, seberapa tidak pantasnya aku dengan rautan wajah yang tak rupawan
ini, kau mungkin menyukai diksi ku tapi tidak dengan raga lemah ini.
Kau akan tahu dengan sendirinya, disaat semua gerak-gerik bodoh ku tertuju padamu. Pilihan itu mungkin cuma 2, risih dan benci lalu kau menjauhiku, kemudian tertawa dan nyaman lalu bertahan.
Kau akan tahu dengan sendirinya, disaat semua gerak-gerik bodoh ku tertuju padamu. Pilihan itu mungkin cuma 2, risih dan benci lalu kau menjauhiku, kemudian tertawa dan nyaman lalu bertahan.
Sebelum ini, aku selalu menceritakan kisah getir. Lalu semua
diksi pahit tiba-tiba berubah manis dan aku menemukannya di malam hari. Yang
awalnya aku selau menggeneralisasi sebuah kiasan saat ini aku ingin membuatnya
menjadi sederhana.
Bukan maksudku agar kau mengetahuinya, memendam dan mengungkapkan adalah pilihan. Bagiku keduanya hanya soal kebiasaan. Dikala kau sudah menemukan alasan sederhana itu dariku, tolong beritahu aku. Aku sudah lebih dulu merasakannya darimu. Tolong biarkan aku dulu menikmati ini semua tanpa harus aku mengungkapkan.
Bukan maksudku agar kau mengetahuinya, memendam dan mengungkapkan adalah pilihan. Bagiku keduanya hanya soal kebiasaan. Dikala kau sudah menemukan alasan sederhana itu dariku, tolong beritahu aku. Aku sudah lebih dulu merasakannya darimu. Tolong biarkan aku dulu menikmati ini semua tanpa harus aku mengungkapkan.
Terdengar bodoh...
Bagaimana mungkin sebuah perasaan akan tersampai tanpa di
ucap? Yah... itulah aku. Semua akan ku ungkap selain dari ucapan. Sampai kau
sendiri tahu, sampai kau memilih untuk pergi, atau sampai kau memilih
bertahan. Jari-jari ini akan terus menceritakan tentang kita disaat mulut ku
bungkam.
“Menyukailah, walapun
hanya dengan sebab sederhana,
Lalu hilangkan
sebabmu dikala kau mencintaiku,
Dikala kau sudah tahu
aku menyukaimu,
Dikala aku
mencintaimu”
"Duduklah disampingku, bersandarlah dibahuku, marahilah aku
setiap hari, rawatlah aku disaat aku terpuruk dan temani aku di malam sunyi
dikala aku menulis. Menulis alam semesta, menulis kisah, menulis berita,
menulis puisi, menulis obrolan kita setiap malam" (sebuah doa untukmu)