Advertisement
Gudnyus.id - Saya sempat
ditanyai oleh salah satu rekan saya yang bekerja sebagai konsultan. Kebetuan
sebagai dosen dan lulusan akuntansi, saya konsen meneliti mengenai perpajakan. Pada
saat itu, rekan saya tersebut menelfon dan bertanya kepada saya, “Mas, saat ini
kami bekerja sebagai konsultan perseorangan pada salah satu gugus tugas dibawah
BPN Kabupaten dan Pemerintah Daerah. Selaku penerima jasa sebagai konsultan,
kami dikenakan PPh Pasal 23, apa benar?”
Sedikit kita
bahas mengenai konsultan/ tenaga ahli terlebih dahulu. Konsultan/ tenaga ahli merupakan seseorang yang melakukan pekerjaan
bebas, yang terdiri dari Dokter, Konsultan, Notaris, Akuntan, Pengacara,
Arsitek, Aktuaris dan Jasa Penilai. Peraturan DJP Nomor PER-16/PJ/2016, Tenaga
Ahli dikategorikan ke dalam penerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan
jasa dan bukan sebagai pegawai atau karyawan. Pada konsultan, dikenai pajak
konsultasi yang merupakan pengenaan pajak atas jasa konsultasi.
Jasa
konsultasi adalah layanan profesional berupa jasa dengan keahlian tertentu
sesuai bidang keilmuan yang dimiliki. Pemberi jasa konsultasi disebut sebagai
konsultan. Pekerjaan yang dilakukan konsultan pada dasarnya adalah untuk
kepentingan klien berdasarkan kontrak kerja yang telah ditanda tangani bersama.
Konsultasi yang diberikan biasanya berupa penyajian sebuah temuan, merumuskan
kesimpulan, dan memberikan rekomendasi kepada klien.
Baiklah, sudah
sangat sering pertanyaan semacam ditujukan kepada saya dan mungkin akan terus
saya terima sebagai pegiat dunia perpajakan. Jadi saya tanyakan kepada yang
bersangkutan, “itu konsultannya berbadan hukum atau perseorangan/ pribadi?.
Karena beda pengenaan pajak pada dua jenis konsultan tersebut.”
Kemudian saya
dikirimin beberapa berkas berkaitan dengan tupoksi kerja mereka. Berdasarkan
landasan hukum perpajakan dan dokumen yang saya pelajari tersebut, dapat
disimpulkan jenis konsultan ini masuk pada kategori konsultan pribadi alias
adalah orang pribadi selain Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap/ Tenaga Kerja
Lepas. Ya jelas namanya saja sudah Konsultan Perorangan.
Kemudian saya
sampaikan beberapa hal dimana memang salah satu salah hal yang sering muncul di lapangan adalah Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 23 diasosiasikan dengan pembayaran jasa. Padahal, tidak dapat
disamakan pengenaan pajak honor yang diterima oleh badan usaha dengan pemotongan atas orang pribadi. Salah satu alasan yang mengakibatkan sering terjadi
salah penetapan tersebut karena objek jasa merupakan objek yang disebut pada
objek PPh Pasal 21 dan disebut pula sebagai objek PPh Pasal 23.
Pasal 21
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut undang-undang
PPh) mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
Pasal 23,
selain mengatur tentang dividen, bunga, royalti, sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta, juga mengatur tentang imbalan sehubungan
dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa
lain.
Lebih rinci, Undang-undang
PPh menyebutkan bahwa penghasilan sehubungan dengan jasa yang menjadi objek PPh
Pasal 21 adalah yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri. Undang-undang yang sama juga menyebutkan bahwa yang merupakan objek PPh
Pasal 23 adalah imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
PPh Pasal 21
dan PPh pasal 23 dapat dikatakan sebagai alur pengenaan pajak atas jasa.
Imbalan atas jasa mengarah untuk dikenakan PPh 21 terlebih dahulu kemudian
apabila objek tersebut lolos dari pengenaan PPh Pasal 21 barulah objek tersebut
masuk kategori PPh Pasal 23.
Dalam bahasa sederhana bisa kita simpulkan bahwa imbalan atas jasa akan
dikenakan PPh Pasal 21 apabila penerima penghasilan tersebut adalah orang
pribadi. Sedangkan imbalan tersebut akan dipotong PPh Pasal 23 apabila penerima
penghasilan adalah selain orang pribadi.
Untuk itu, saya coba tampilkan perbedaan antara keduanya sebagaimana
tabel 1 berikut:
Tabel 1. Perbedaan Pengenaan Pajak Jasa PPh Pasal 21 dan Pasal 23
PPh Pasal 21
|
PPh Pasal 23
|
|
Landasan
Hukum
|
UU No. 36 Tahun 2008
|
UU No. 36 Tahun 2008
|
Peraturan Dirjen Pajak No. PER-16/PJ/2016
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015
|
|
Subjek
Pajak
|
Orang Pribadi
|
Badan
|
Penerima
Penghasilan
|
Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta
pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan.
|
Imbalan sehubungan dengan jasa lain selain jasa yang telah dipotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
|
Penerima
penghasilan Bukan Pegawai
|
adalah orang pribadi selain Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap/
Tenaga Kerja Lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk
apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan
berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.
|
|
PPN
|
Tidak ada
|
10%
|
Tarif
|
Berkesinambungan
Tarif Pasal 17* x (50% x Penghasilan Bruto) - PTKP
*Tarif ditentukan berdasarkan PKP kumulatif
(Jika hanya menerima dari satu pemberi kerja)
|
2% x Penghasilan Bruto
|
Berkesinambungan
Tarif Pasal 17* x (50% x Penghasilan Bruto)
*Tarif ditentukan berdasarkan PKP kumulatif
(Jika menerima lebih dari satu pemberi kerja)
|
PPh Pasal 21 adalah orang pribadi selain
pegawai tetap dan pegawai tidak tetap/ tenaga kerja lepas yang memperoleh
penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21
dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan berdasarkan perintah
atau permintaan dari pemberi penghasilan.
Nilai PPh 21 bukan pegawai (penghasilan
berkesinambungan) adalah sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto dikurangi
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebulan kemudian dikalikan Tarif Pasal 17
UU No. 36 Tahun 2008, jika hanya menerima dari satu pemberi kerja.
Nilai PPh 21 bukan pegawai (penghasilan
berkesinambungan) adalah sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto sebulan
kemudian dikalikan Tarif Pasal 17 UU No. 36 Tahun 2008, jika menerima lebih dari satu pemberi kerja.
Penghasilan
berkesinambungan adalah penghasilan yang diterima lebih dari satu kali dalam
satu tahun pajak. Bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki
NPWP maka dikenakan tarif 20% lebih tinggi.
Sehingga, berdasarkan peraturan UU, Perdirjen Pajak, dan Peraturan
Menteri keuangan serta ruang lingkup pekerjaan konsultan perorangan program
GTRA, maka dapat disimpulkan bahwa konsultan tersebut dikenakan Pajak
Penghasilan Pasal 21.
Saya coba
buatkan contoh perhitungannya pada tabel 2 dan tabel 3, dengan membandingkan
berdasarkan jumlah sumber pemberi penghasilan.
Tabel 2. Jika Menerima
Penghasilan Hanya dari Satu Pemberi Kerja
Penghasilan
Ke-
|
Penghasilan
Bruto (PB)
|
50% x PB
|
PTKP
|
PKP (PB -
PTKP)
|
PKP
Kumulatif
|
Tarif Pasal
17
|
PPh
|
1
|
4.950.000
|
2.475.000
|
4.500.000
|
0
|
0
|
0
|
0
|
2
|
4.950.000
|
2.475.000
|
4.500.000
|
0
|
0
|
0
|
0
|
3
|
4.950.000
|
2.475.000
|
4.500.000
|
0
|
0
|
0
|
0
|
4
|
4.950.000
|
2.475.000
|
4.500.000
|
0
|
0
|
0
|
0
|
5
|
4.950.000
|
2.475.000
|
4.500.000
|
0
|
0
|
0
|
0
|
6
|
4.950.000
|
2.475.000
|
4.500.000
|
0
|
0
|
0
|
0
|
7
|
4.950.000
|
2.475.000
|
4.500.000
|
0
|
0
|
0
|
0
|
8
|
4.950.000
|
2.475.000
|
4.500.000
|
0
|
0
|
0
|
0
|
9
|
4.950.000
|
2.475.000
|
4.500.000
|
0
|
0
|
0
|
0
|
10
|
4.950.000
|
2.475.000
|
4.500.000
|
0
|
0
|
0
|
0
|
Tabel 3. Jika Menerima
Penghasilan Lebih dari Satu Pemberi Kerja
Penghasilan
Ke-
|
Penghasilan
Bruto (PB)
|
PKP= 50% x
PB
|
PKP
Kumulatif
|
Tarif Pasal
17
|
PPh (PKP x
Tarif)
|
1
|
4.950.000
|
2.475.000
|
2.475.000
|
5%
|
123.750
|
2
|
4.950.000
|
2.475.000
|
4.950.000
|
5%
|
123.750
|
3
|
4.950.000
|
2.475.000
|
7.425.000
|
5%
|
123.750
|
4
|
4.950.000
|
2.475.000
|
9.900.000
|
5%
|
123.750
|
5
|
4.950.000
|
2.475.000
|
12.375.000
|
5%
|
123.750
|
6
|
4.950.000
|
2.475.000
|
14.850.000
|
5%
|
123.750
|
7
|
4.950.000
|
2.475.000
|
17.325.000
|
5%
|
123.750
|
8
|
4.950.000
|
2.475.000
|
19.800.000
|
5%
|
123.750
|
9
|
4.950.000
|
2.475.000
|
22.275.000
|
5%
|
123.750
|
10
|
4.950.000
|
2.475.000
|
24.750.000
|
5%
|
123.750
|
Berdasarkan
tabel 2, memperlihatkan bahwa jika hanya menerima
penghasilan hanya dari satu pemberi kerja (dalam hal ini BPN) dengan PTKP yang diperoleh konsultan, maka konsultan tersebut tidak
dikenakan pajak. Sedangkan jika konsultan tersebut menerima penghasilan lebih dari satu pemberi
kerja (ada pekerjaan berpenghasilan lain) maka jasa yang diperoleh konsultan
tersebut dikenakan pemotongan pajak sebesar Rp123.750,00 (tabel 3).
Sekian agar
dapat dipahami dan menjadi tambahan pengetahuan bersama terkait pengenaan
pajak, dalam hal ini konsultan perorangan. Terima kasih.
Penulis:
Dedi
Kurniawan, S.Tr.Akun., M.Acc. (Dosen Pajak, Politeknik Negeri Batam)
Zaidan Zikri
Malem, S.Pd., M.Sc. (Konsultan Perorangan Reforma Agraria)