Advertisement
- Penulis: Jhony Ardiansyah
Pada zaman dahulu, hidup lah sosok pemuda bernama Agra Sara. Dikisahkan, dia adalah seorang yang pemberani namun juga pemalu. Tetapi, ia memiliki banyak sekali teman yang selalu bersamanya.
Pada mulanya, ia adalah anak dari Kerajaan Kumara, julukan dari Agra adalah “Pangeran Seribu” karena ia memiliki berbagai cara dalam strategi khusus untuk pertempuran di bawah langsung oleh sang kakak.
Agra dan kakaknya bukanlah murni dari keluarga kerajaan. Mereka hanya lah anak dari keluarga yang sederhana yang diangkat langsung oleh raja kerajaan karena keahlian yang mereka miliki.
Kehidupan di kala itu sangatlah tidak aman karena masih dalam perebutan kekuasaan wilayah. Namun, Kerajaan Kumara adalah salah satu kerajaan terkuat dan terbesar yang tidak suka memulai sebuah pertumpahan darah.
Tetapi, bukan kerajaan terkuat dan terbesar jika tidak memiliki musuh bebuyutan. Kerajaan dari negeri seberang adalah musuh dari raja pertama hingga sampai pada raja sekarang.
Sebenarnya, kesepakatan damai sudah terbentuk sejak lama hingga pada akhir kekuasan raja pertama yang bernama Nirwangsa membuat kebijakan atau solusi, yakni jika Danau Biru adalah titik tengah dari perbatasan antarkerajaan, maka harus dikosongkan sehingga membentuk garis lurus yang panjang dan membelah kedua kerajaan sebagai perbatasan.
Sejak dulu, Kerajaan Kerastera lah yang memulai provokasi yang berujung pada peperangan panjang. Danau Biru yang semulanya indah, sekarang menjadi tempat pertumpahan darah yang tidak akan pernah terselesaikan. Kemudian, tempat itu dijuluki sebagai "Danau Merah".
Di perbatasan, banyak prajurit perang yang gugur dan banyak pula warga yang tinggal disana sebagai korban tak bersalah. Kekacauan disana sudah menjadi tontonan bagi anak-anak di daerah perbatasan.
Raja pertama dari Kerajaan Kerastera yang bernama Noenalda pernah bersumpah, "Akan ku ratakan Kusuma dengan keturunannya", sebelum akhir ajal menjemputnya.
Berbeda dengan Raja Nirwangsa, ia membalas sumpah itu dengan bersumpah, "Hingga Danau itu mengering pun itu adalah batasnya".
Sumpah dari kedua raja ini dibawa hingga sekarang dan menjadi pengaruh besar di pikiran masyarakatnya. Panglima tempur kakak dari Agra mengatakan kepada sang raja, aku menunggu perintahmu untuk meluluhlantahkan Kerajaan Kerastera, bahkan Agra mengatakan, “Strategi sudah saya buat dan ini adalah yang terbaik untuk mengubur semua prajurit beserta sang raja”.
Kedua kakak adik tersebut dibuat tidak percaya dengan apa yg diungkapkan sang raja kepadanya, “Aku adalah raja yang ke-25 dan pendahuluku adalah ayah dari ayahku”. Namun, mereka tak pernah benar-benar ingin meleburkan Kerajaan Kerastera.
“Pada Bulan Februari tahun ini, aku menemukan dokumen yang berisi ‘Kedamaian memang tidak cukup dengan air mata’, tapi percaya lah. Dua ribu tahun lagi pun, aku siap menunggu perdamaian itu dan ini adalah sumpahku sebagai raja ke-18. Jika kalian ingin menghancurkan kerajaan, maka berarti kalian sudah menghancurkan mimpi dari para pendahuluku”, ujar sang raja yang masih memimpin itu.
Merasa tidak sepandang dengan raja, Agra yang kesal pun memutuskan untuk keluar dari kerajaan dan ingin menggunakan strateginya sendiri untuk menghancurkan yang ada di tekadnya. Tetapi, sang kakak berbalik untuk menghentikan adiknya yang berlarut emosi itu.
Agra dengan beberapa pengikut setianya pun pergi meninggalkan kerajaan dan sampailah mereka ke perbatasan yang masih berpenghuni. Hari pun sudah memasuki sore. Sebelumnya, Agra telah menelusuri desa yang bernama Yama Nangsa itu. Dia benar-benar menyakinkan bahwa rencananya sesuai dengan apa yang ada di lapangan.
Desa yang sangat jauh dari kerajaan dan persis berada di ujung perbatasan memiliki cerita di balik jayanya lingkungan kerajaan yang sangat berbeda itu. Agra dan pasukannya pun memutuskan untuk bermalam di bawah pohon yang sangat besar dan di sekelilingnya dipenuhi semak belukar.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Baca di Clara Aksara (Part 2)