Advertisement
Gudnyus.id - Program reformasi perpajakan tahap I melalui implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP) telah membawa perubahan yang fundamental dalam sistem perpajakan Indonesia dari yang semula menganut official assessmentsystem menjadi self-assessment system. Berdasarkan self-assessment system, Wajib Pajak (WP) diberikan kepercayaan sepenuhnya untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri sementara, disisi lain, otoritas perpajakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berperan sebagai penyuluh, pelayan, dan pengawas pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan.
Keberhasilan implementasi self-assessment system sangat bergantung pada tingkat kepatuhan (voluntary and forced compliances) WP serta efektivitas mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh otoritas perpajakan. Berdasarkan UU KUP, mekanisme pengawasan utama yang dilakukan oleh DJP adalah Penelitian dan Pemeriksaan. Pasal 1 UU KUP mendefinisikan Penelitian sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.
Selanjutnya, Pemeriksaan didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh DJP kerap kali menjadi pemicu terjadinya sengketa pajak antara WP dan Fiskus. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) mendefinisikan sengketa pajak sebagai sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dari definisi tersebut dapat diidentifikasi beberapa karakteristik utama sengketa pajak sebagai berikut: pertama, sengketa yang timbul dalam ruang lingkup administrasi perpajakan, kedua, para pihak yang bersengketa adalah WP atau Penanggung Pajak dengan DJP sebagai institusi/pejabat yang berwenang mengelola administrasi perpajakan, ketiga, terdapat keputusan tata usaha negara yang dapat diajukan Banding atau Gugatan sebagai pokok sengketa, keempat, forum penyelesaian sengketa yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa (choice of forum) adalah Pengadilan Pajak, dan, kelima, referensi hukum yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa (choice of law) adalah peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan.
Diluar batasan yang telah diatur dalam UU Pengadilan Pajak serta untuk memberikan rasa keadilan, ketentuan perpajakan Indonesia memberikan ruang yang sangat luas kepada Wajib Pajak untuk memilih forum penyelesaian sengketa yang sesuai dengan tingkat kerumitanmateri sengketa serta waktu dan biaya yang dialokasikan. Pasal 16 dan Pasal 36 UU KUP memberikan pilihan penyelesaian sengketa pajak melalui mekanisme “pengadilan administrasi (peradilan semu/quasi peradilan)” melalui proses pembetulan, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan keputusan administrasi (Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak) yang tidak benar serta pembatalan hasil pemeriksaan pajak yang dilakukan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir dengan Wajib Pajak.
Forum penyelesaian sengketa lainyang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak adalah dengan mengikuti prosedur hukum (pro justitia) yang diatur dalam Pasal 25 dan Pasal 27 UU KUP serta Pasal 77 UU Pengadilan Pajak. Melalui mekanisme ini Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu keputusan administrasi (surat ketetapan pajak dan pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga) yangdapat dilanjutkan dengan proses banding di Pengadilan pajak dan, sebagai upaya hukum luar biasa, peninjauan kembali di Mahkamah Agung.
Forum penyelesaian sengketa terakhir yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak, terutama untuk sengketa pajak yang terkait dengan investasi dan transaksi internasional, adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur dalam perjanjian internasional dibidang perpajakan (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda/P3B), investasi (Bilateral Investment Treaty/BIT), dan perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) melalui prosedur persetujuan bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP), konsultasi, dan arbitrase internasional.
Pasal 57 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan mengatur bahwa Wajib Pajak dapat menempuh mekanisme “pengadilan administrasi” atau prosedur hukum dengan perjanjian internasional secara bersamaan (multiple choice of forums) sampai dengan sidang telah dinyatakan cukup oleh Pengadilan Pajak. Namun, Wajib Pajak tidak dapat menempuh mekanisme “pengadilan administrasi” dan prosedur hukum untuk materi sengketa pajak yang sama (fork-in-the-road approach). Hadirnya berbagai mekanisme penyelesaian sengketa pajak diharapkan dapat memberikan kesempatan yang luas kepada WP untuk mendapatkan penyelesaian sengketa yang adil dan efisien.
Lebih lanjut, implementasi fork-in-the-road approach menjamin tidak adanya penumpukan sengketa pajak pada mekanisme penyelesaian sengketa tertentu akibat duplikasi permohonan WP. Namun demikian, saat ini mayoritas WP lebih memilih penyelesaian sengketa melalui mekanisme “pengadilan administrasi” atau prosedur hukum.
Penyelesaian sengketa pajak melalui arbitrase internasional tidak populer karena biaya yang cukup mahal untuk registrasi sengketa dan jasa pengacara serta tidak adanya lembaga arbitrase internasional yang khusus menangani sengketa perpajakan sehingga WP harus mendaftarkan sengketanya ke arbiter yang menangani sengketa perdagangan dan investasi secara umum seperti International Centre for Settlement of Investment Disputes dan United Nations Commission on International Trade Law.
Namun kedepannya, penyelesaian sengketa pajak melalui arbitrase internasional akan mendapat banyak perhatian seiring dengan implementasi Base Erosion and Profit Shifting Action 14 melalui Multilateral Instrumentyang mengamanatkan penyelesaian sengketa secara lebih efektif termasuk klausul untuk menerapkan mandatory binding arbitration dalam proses MAP.
Oleh : Subagio Effendi , Pegawai Tugas Belajar di University of Technology Sydney, Australia